Rabu, Oktober 13, 2010

Cinta Tanpa Rasa

Awan cembung membiaskan rona kaca matamu
Dibaliknya langit mengerdip

Kupandangi sinar yang terpampang disana

Oh... andai ku bisa membaca

Gambaran harapan cinta yang ingin kau tapaki


Sayup-sayup gerutu di bibirmu

Masih kudengar rasa sakit perihal dicampakkan

Kau tidak bisa bersembunyi dari jendela itu

Aku bisa membacanya

Mentari pun membisikkannya padaku


Relikui nyaliku tak bisa menyentuhmu

Hampa kosong walau tawa membuncah

Hati berkata ya, lidah membisikkan entahlah...

Memandangmu merisaukan jiwa
Percayakah burung-burung itu
Jika kukatakan titip kebahagiaan untukmu?

Kujejaki bayangmu tanpa kau sadari

Sekali lagi ku memandang

Jauh dari sisi dirimu yang sebenarnya

Entah tidak ada rasa

Atau mungkin aku tak pernah mengerti bias itu


by : mutia chimut

Cerita di Selasa Malam (Kampung Halamanku)

Seperti biasa tiap selasa malam dari pukul 19.00 - 22.00 ada acara “Kucindan Minang” di sebuah radio swasta di Bandung. Acara ini berisi lagu-lagu daerah Minangkabau, lagu lama maupun yang baru, mulai dari musik “Minang biasa”, “Rabab”, “Saluang”, dan “Gamaik”. Kita juga bisa request lagu dan berkirim salam kepada saudara, teman, kerabat yang sama-sama merantau di daerah Bandung . Tidak hanya lagu, tiap minggu biasanya juga ada hal-hal yang dibahas, misalnya tentang adat budaya, daerah yang ada di sumbar, dan sejarah minangkabau. Di acara ini boleh berbahasa minang ataupun bahasa Indonesia karena yang denger biasanya tidak hanya orang Minang tapi kadang juga ada orang bukan Minang yang menyukai lagu-lagu Minang. Setidaknya acara yang seminggu sekali ini dapat mengobati rasa rindu dengan kampung halaman.
Malam itu aku cuma berdua di rumah dengan “Pak Dang”, karena males dengerin sendirian, aku mengajak Pak Dang ikut mendengarkan radio. Dengan sangat antusias dan rasa kangen yang mendalam mulailah kami bercerita tentang kampung halaman jaman dulu dan sekarang.
Aku dan Pak Dang adalah orang asli Sungai Pua (sebuah kecamatan kecil di kabupaten Agam, Sumbar), tapi kami berbeda jorong (desa). Pak Dang berasal dari jorong Kapalo Koto sedangkan aku berasal dari Galuang. Walaupun letak jorongnya tidak terlalu berjauhan tapi kadang memiliki kebiasaan yang berbeda.
Awalnya kami bercerita tentang Rumah Gadang yang sekarang sudah sangat jarang ditemui di kampung. Ada yang roboh dimakan usia, ada yang tidak terurus karna penghuninya sudah merantau atau meninggal. Sebagian ada yang sudah dirobohkan dan ditumbuhi semak-semak dan ada juga yang diganti dengan bagunan baru yang bagus tetapi tanpa menggunakan citra minangkabau. Ada juga orang perantau yang membuat rumah gadang di kampung. Dinding dan lantainya dari beton yang kokoh, hanya atapnya yang bergonjong (membentuk tanduk kerbau). Yang paling sangat disayangkan, rumah-rumah bagus itu hanya dihuni waktu lebaran saja.
Kami melanjutkan cerita tentang kegiatan orang-orang di kampung halaman. Mereka bercocok tanam, menanam padi dan palawija dan hidup berkecukupan dari hasil sawah ladang tersebut. Bercerita bagaimana cara masyarakat menanam sayur yang baik dan menguntungkan dengan memanen saat harganya melonjak naik. Tapi tak jarang juga panen terjadi saat sayuran di pasar melimpah sehingga harganya anjlok. Teringat tentang salah seorang tetangga yang memanen cabenya saat harga cabe Rp.50.000,-/kg , langsung jadi kaya mendadak kemudian memenuhi rumahnya dengan barang-barang elektronik baru. Ada juga cerita saat panen terong saat harga pasar RP.100,-/kg. Biaya transport membawa terong itu kepasar pun tak mampu ditutupi oleh harga jual si terongnya. Sungguh miris sekali.
Cerita tentang air beda lagi. Kami tinggal di kaki gunung Merapi yang kaya akan air tanah. Hampir setiap rumah punya air tanah yang jernih. Bahkan tak harus menggali tanah dalam-dalam untuk membuat sumur bor. Di setiap rumah dibuat tempat penampungan air berupa bak. Air dalam bak tidak hanya berasal dari mata air tapi juga dari hasil menampung air hujan yang dialirkan ke bak tersebut dari cucuran atap. Tapi biasanya air itu hanya digunakan untuk keperluan jamban seperti bab, dan buang air kecil. Untuk mandi biasanya penduduk sekitar pergi ke pancuran dan mencuci baju di pinggir kolam. Kalo dikampungku, air pancuran berasal dari sawah yang kemudian dialirkan keparit, terus ke kolam, baru kemudian ke pancuran yang memang tempatnya lebih rendah. Sedangkan di kampung Pak Dang air pancuran berasal dari mata air yang ditampung di kolam baru dialirkan ke pancuran. Orang – orang lebih senang mandi dipancuran karena airnya segar dan selalu mengalir. Biasanya disamping pancuran didirikan mushalla.
Lantunan lagu-lagu minang dari radio masih mengisi dinginnya malam itu. Cerita dilanjutkan tentang tanah pusaka. Tanah pusaka atau harta pusaka adalah tanah yang diwariskan secara turun menurun contohnya rumah gadang, tanah berupa sawah/ladang, tanah pekuburan. Harta pusaka tersebut diturunkan berdasarkan garis keturunan ibu (matrilineal). Seperti halnya harta pusaka, suku yang dimiliki setiap orang juga berdasarkan keturunan ibu. Misalkan ibu bersuku Koto dan bapak bersuku piliang, maka anak-anaknya akan bersuku Koto, begitu seterusnya. Tiap keluarga memiliki sawah dan rumah gadang. Sawah biasanya terdiri dari beberapa yang jaraknya berjauhan satu sama lain. Entah bagaimana dahulu ceritanya kenapa bisa memiliki sawah/tanah yang berjauhan letaknya. Sawah/ tanah itu kadang berdampingan dengan milik orang lain tapi tidak pernah ada pertengkaran mengenai batas-batas tanah atau kata lain peristiwa penyerobotan lahan yang sering diperlihatkan di tv. Padahal tanah itu sendiri kadang belum memiliki sertifikat yang jelas. Sejak dahulu telah ada toleransi antar sesama masyarakat dan tak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Walaupun begitu kadang ada juga yang sedikit bersitegang karna lahannya yang terbengkalai dibersihkan dan ditanami oleh orang lain yang bermaksud supaya lahan itu tidak kelihatan semak-semak saja.
Aku juga sempat bertanya pada Pak Dang kok bisa ada Tugu dikampungku. Beliau bilang juga ga tau. Aku juga bertanya tentang asal-usul nama Minangkabau, tentang asal Datuak Katumanggungan dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang, tentang kebenaran Batu Batikam, tentang asal usul nama suku Koto Piliang dan Bodi Caniago. Bagaimana kedua suku itu bisa berkembang menjadi beberapa suku lagi. Pertanyaan tentang apa yang terjadi jika harta pusaka sudah tidak ada yang mewarisi, bagaimana dulu ada kerajaan yang dipimpin oleh orang dari pulau Jawa, bagaimana orang Minangkabau bisa menganut paham matrilineal sedangkan mayoritas penduduk bumi menganut paham patrilineal. Pak Dang bilang dahulu mayoritas suku bangsa menganut paham matrilineal dan sekarang tidak banyak yang masih menganut paham itu selain Minangkabau dan sebuah daerah kecil di Rusia. Semuanya tidak ada bukti yang jelas tentang asal usul tersebut, Cuma cerita dari mulu-ke mulut dari generasi ke generasi. Dari mana asal orang Minangkabau, kenapa orang pegunungan dan orang pesisir memiliki budaya yang berbeda walaupun masih sama-sama orang Minangkabau? Apakah karena berasal dari keturunan yang berbeda juga? Bagaimana bisa berbeda dialeg dan bahasa? Itu masih menjadi pertanyaan yang tak terjawab. Bahkan sebagai jawaban dari Kapan nenek moyang orang Minangkabau dating ke tanah itu adalah ‘Waktu Gunuang Marapi sagadang talua itiak (Waktu gunung merapi sebesar telur bebek)’. Jawaban yang benar-benar menggelikan.
Pak Dang juga bercerita bagaimana dulu dia diajarkan menanam padi, bagaimana dulunya disewa orang untuk membajak sawah. Kita harus mengunjungi rumah sang pembajak  menanyakan kapan dia bisa membantu membajak, kemudian saat pembajak bekerja kita harus mengantarkan makanan dan kopi untuknya ke sawah dan setelah selesai baru diberi upah. Kemudian sawah dibersihkan pematangnya dan diberi air, baru kemudian di Tanami padi. Semua dikerjakan oleh orang yang ahli dalam bidang tersebut. Setelah sedikit besar dibersihkan rumput-rumputnya dan menjelang panen airnya dikeringkan dan dibikin parit. Setelah padinya matang di panen kemudian di ‘iriak’ untuk memisahkan padi dengan batangnya. Setelah itu dikipas untuk memisahkan padi yang berisi dengan yang hampa. Pekerja panen padi dibayar dengan padi hasil panen. Kalo jaman dulu sich yang ngerjain panennya keluarga dan kerabat terdekat secara gotong royong. Di kampungku orang ‘mairiak’ biasanya malam hari, ga tau kenapa. Setelah selesai padi dimasukkan ke karung dan dihantarkan kerumah pemilik.
Satu lagi fakta yang baru aku ketahui kalau daerah Sariak (Sebuah jorong di daerah Sungai Pua) adalah sebuah daerah yang memiliki suatu ke khasan yaitumeratap sabil berdendang saat ada yang meninggal. Orang yang meratap ini adalah orang yang memiliki keahlian khusus di bidang meratap, terlatih, yang diminta datang saat ada yang meninggal dunia di lingkungan tersebut. Sehingga dikenal dengan sebutan ‘Ratok Rang Sariak’. Tapi sekarang udah ga ada lagi yang seperti itu, benar-benar hanya tinggal sejarah.
Terakhir kami bicara soal acara pernikahan. Dulu setiap orang pergi ke pesta pernikahan memakai pakaian khusus pesta seperti songket, baju kurung, selendang, gelang emas, dll. Tetapi sekarang orang pergi keperti mengenakan pakaian yang hamper sama dengan pakaian pergi ke pasar atau pakaian sehari-hari. Orang mengadakan pesta dengan memasak beramai, yang ikut memasak adalah orang yang masih terbilang keluarga dan satu suku. Dulu orang kepesta membawa ‘sumpik’ yang diisi beras, sekarang hanya membawa amplop. Dahulu kalau kerabat dekat yang datang ke pesta, membawa ‘katidiang’ yang diisi dengan beras. Oleh pihak penyelenggara pesta nanti ‘katidiang’ itu diisi dengan makanan (rending, nasi kuniang, pinyaram, godok, pisang goreng,dll). Pesta biasanya diadakan lebih dari 1 hari sedangkan sekarang di kampung banyak yang mengadakan pesta hanya 1 hari diiringi orgen tunggal dengan irama dangdut. Adat Minangkabaunya dikemanain ya???
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, acara Kucindan Minang pun sudah undur diri dan mata pun sudah mengantuk. Kami akhiri diskusi malam itu dan beranjak tidur dengan perasaan kangen kampung masih menjalar di dalam hati.